Perbankan syariah perspektif sosio-kultur



Perbankan syariah perspektif sosio-kultur
A. Pendahuluan
Pada awalnya, pendirian institusi keuangan syariah dimulai pada pertengahan tahun 1940-an. Bank syariah didirikan di melayu dan Pakistan pada akhir 1950-an, melalui Jama'at Islami 1969, Egypt's Mit Ghamer Banks ( 1963-1967 ), dan Nasser Social Banl ( 1971 ). Secara umum, eksperimen ini mengalami dinamika naik turun. Akan tetapi, pada masa ini, satu-satunya institusi yang bertahan adalah Nasser Social Bank sebagai bank komersial yang dalam operasionalnya tidak menggunakan sistem bunga.
Di Indonesia, pelembagaan ekonomi syariah dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada 1991 dan mulai beroperasi pada tahun 1992, sebagai bank yang memegang teguh dan beroperasi atas dasar prinsip-prinsip syariah.
Perkembang perbankan syariah menjadi fenomena baru dalam sistem perbankan nasional. Munculnya para pemain baru mengintikasikan bahwa bank syariah mempunyai prospek yang cerah dan pasar yang sangat potensial. Akan tetapi, perkembangan perbankan syariah secara institusi tidak dibarengi tingginya sikap masyarakat yang secara masif menyimpan dananya di bank syariah. Jumlah aset perbankan syariah saat ini belum optimal mengingat pangsa pasar syariah di indonesia sangat luas.
Adanya kesenjangan yang sangat jauh dari aset yang dimiliki bank syariah dan potensi pasar yang begitu luas, menimbulkan banyak pertanyaan. Di antaranya, apakah pangsa pasar syariah yang ada saat ini sudah melakukan adaptasi dengan kearifan lokal atau belum atau hanya cenderung berprientasi pada aspek profitable, tanpa memerhatikan dan mengolaborasi nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat menjadi entitas intitusi perbankan?
Untuk menjawab persoalan tersebut, berikut ini akan dikaji dan dianalisis gejala masyarakat dalam mengapresiasi bank syariah dengan merealisasikan dan mengaksentuasikan pada nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat.

B. Relevansi Sosio-Kultur
Perkembangan ekonomi syariah tidak lepas dari kehidupan kearifan lokal atau sosio kultur masyarakat. Ilmu ekonomi dan Sosial memang berbeda, tapi tidak dapat di pisahkan. Ekonomi merupakan bagian naluri manusia untuk kebutuhan hidupnya. Pada umumnya ekonomi tidak lahir dengan sendirinya, tapi merupakan proses interaksi evolusiuner dari sebuah komunitas.
Berbeda halnya dengan ekonomi islam, ia tidak lahir secara evolusi dari komunitas, tetapi bersumber dari wahyu illahi yang di turunkan kepada komunitas dunia. Misi yang di emban adalah untuk kemaslahatan lahir dan batin bagi manusia dan alam semesta.
Perlu diketahui bahwa ekonomi islam diturunkan bukan untuk mengeliminasi sistem ekonomi yang sudah ada, melainkan untuk memberikan pencerahan. Dengan demikian, praktik dagang yang pernah ada tidak serta merta di eliminasi dan diganti oleh ekonomi islam.
Praktik dagang yang sahih di pertahankan, bahkan di peragakan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Sebelum di nobatkan sebagai Rasul, Beliau telah menjadi saudagar yang sukses,jujur, visioner, kreatif dan transparan, yang tidak hanya meneknkan pendekatan keuntungan, tetapi lebih mengutamakan pendekatan proses, kemitraan dan ta’aawun. sebaliknya, pola perdagangan yang tidak sahih tetus di eliminasi seperti riba, maisir, gharah dan tindakan bathil lainnya.
Menurut Abdullah Alwi Hasan, berbagai kontrak jual beli yang di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW merupakan hasil dari proses penyerapan tradisi yang berjalan pada masa itu dan mendapat penyesuaian dengan wahyu, baik Al Quran dan As sunnah. Dan Sunah rasul telah melahirkan berbagai istilah teknis ekonomi syariah.
Adanya relasi sistem ekonomi yang ada dengan sistem ekonomi islam telah melahirkan sejumlah pandangan di kalangan mazhab ekonomi islam. Ada yang menyebut bahwa Sistem ekonomi islam harus sesuai dengan al quran dan as sunah , dan tidak ada korelasi dengan ekonomi konvesional. Ada pula yang menyebut bahwa ekonomi konvesional tidak harus di buang karena di dalamnya banyak hal yang relevan dengan ekonomi islam, selama tidak kontradiktif dengan syariah islam. Bahkan ada yang menyebut bahwa sistem ekonomi islam dan ekonomi konvesional harus di kritisi karena teori ekonomi islam berbeda dengan ajaran islam yang selalu benar.
Pada saat menempatkan ekonomi islam di tengah ekonomi konvesional merupakan masalah yang masih menyelimuti sistem ekonomi islam di tanah air. Realitasnya banyak ekonomi konvesional melakukan proses modifikasi dan pemolesan yang di kondisikan dengan frame syariah.
Akhirnya, tidak sedikit penampakan berupa profil dan performancenya tampak syariah tapi substansi nya konvesional. Belum lagi yang terkondisikan oleh booming ekonomi syariah, maka terjadilah perilaku simbolistik, yang penting berbaju seolah syariah.
Dengan mencermati fenomena tersebut, semakin tampak perlunya pendekatan secara multidimensional terhadap ekonomi islam. Pertumbuhan ekonomi syariah yang tergambar saat ini menampakan kecenderungan satu arah, yaitu pada pengembangan institusional yang menempatkan seolah olah praktik ekonomi syariah hanya terpusat pada adanya institusi ekonomi syariah, antara lain institusi ekonomi syariah dan nasabah atau institusi dengan institusi. Kecenderungan ini sebenarnya tidak seperti yang dicontohkan oleh rasulullah yang ketika itu lebih banyak dilakukan secara perseorangan.
Dampak langsung dari kecenderungan tersebut adalah ekonomi syariah seolah olah tidak mengatur pratik ekonomi secara individual. Pelaku ekonomi seperti ini hampir tidak terkena sentuhan teori ekonomi syariah. Padahal, jumlah mereka jauh lebih banyak terutama di sektor real dan golongan ekonomi menegah ke bawah.



C. Memahami Kearifan Kultur Lokal
Sebuah budaya lahir dari keluhuran nilai, kemuliaan sikap, dan keagungan tradisi masyarakat yang berjalan secara kontinu dan mengakar. Dalam prosesnya, budaya lahir dari adanya interaksi, bahkan akulturasi antara keyakinan religi,sosial dan tradisi masyarakat. Persentuhan tersebut melahirkan cara pandang,keyakinan,sikap dan ideologi yang heterogen dan dinamis. Oleh karena itu, kerangka yang digunakan untuk memahami budaya dalam komunitas tertentu harus juga memahami cara pandang, sikap, dan ideologi tempat komunitas masyarakat itu berada.
Dalam masyarakat beradab, budaya dibangun atas dasar konsensus nilai-nilai kearifan lokal. Jika kultur dan kearifan lokal dikaitkan dengan aktivitas bisnis,ia menjadi sebuah entitas yang tidak bisa di pisahkan. Bisnis tidak bisa terlepas dari nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial masyarakat yang di anut. Ia tidak bisa dipertentangkan, tetapi harus direlasikan atau bahkan diintegrasikan. Oleh karena itu, memahami nilai-nilai kearifan kultur lokal menjadi sangat signifikan dalam mengonstruksi fundamental ekonomi syariah.
Sebagai contoh, dalam kultur ekonomi masyarakat Sunda-pedesaan dikenal istilah paro, mindo dan nengahkeun. Terminologi tidak hanya menyemangati cara aktivitas ekonomi yang sudah lama mengakar pada masyarakat, yang menjungjung tinggi prinsip-prinsip bagi hasil sebagaimana di praktikan di bank syariah. Pola bagi hasil yang telah lama tumbuh pada masyarakat, sebenarnya mengarah pada penciptaan keadilan dan memberikan keseimbangan terhadap pelaku ekonomi dengan lingkungannya.
Adanya relasi kultur aktivitas ekonomi masyarakat dengan ekonomi syariah seharusnya menjadi energi dan inspirasi,bagaimana para pelaku ekonomi syariah dapat mengejawantahkan semangat kultur pada hubungan ekonomi yang lebih real dan bersinergi.
Hal yang sreing terlupakan dalam pembangunan institusi bisnis adalah kurangnya pemahaman terhadap kultur masyarakat tersebut berada, tidak terkecuali bank syariah yang merupakan bagian dari entitas bisnis. Pemahaman atas kultur masyarakat dan kearifan lokal merupakan salah satu faktor signifikan sebagai prasarat untuk mendesain, menyelaraskan dan mengembangkan bisnis yang kita jalankan. Dengan demikian, institusi bisnis tidak hanya berorientasi perusahaan, tetapi mempunyai keselarasan sosio-kultur dan tanggung jawab sosial.
Salah satu kearifan lokal adalah memiliki tingkat solidaritas yang tinggi atas lingkungannya. Dalam khazanah sosiologi Islam, Ibnu Khaldun dikenal sebagai peletak dasar teori solidaritas masyarakat atau dikenal dengan teori Ashabiyat. Teori ini merupakan pengejawantahan dari teori harmoni ka al-jasad al-wahid dalam ajaran islam, yang menggambarkan kelaziman saling melindungi dan membantu di antara sesama.
Secara fungsional, solidaritas kelompok sebagai dasar kehidupan yang dilandasi oleh iman dan ahlak mulia. dapat memberikan implikasi terhadap tatanan kerjasama kemanusiaan.
Di indonesia, pemahaman atas syariah islam memiliki tafsir yang berbeda,tidak hanya dalam ibadah tetapi persoalan ekonomi. masing-masing memiliki cara pandang dan mazhab sendiri. Sebagai contoh, persoalan dan tafsir atas hukum bunga bank. Ada yang menghalalkan  dengan alasan bahwa bunga bank konvensional tidak memberatkan. Ada juga yang mengharamkan dengan alasan bahwa bunga bank termasuk riba.
Faktor pemahaman yang berbeda ini secara tidak langsung berpengaruh pada perilaku masyarakat untuk berinteraksi dan menyimpan dananya di bank syariah. Sejatinya, hal yang harus dilakukan adalah melakukan sosialisasi yang dapat menyeluruh ranah kesadaran seseorang yang timbul dari diri sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun.
Saat ini sosialisasi ekonomi syariah dilakukan hanya sebatas simbolik. Indikasinya terlihat dari begitu gencarnya blow up simbol-simbol religi yang bersifat properti. Sosialisasi seperti ini cenderung pada pencitraan dan tidak akan pernah bisa mengubah pola pikir ,sikap,perilaku dan menggerakan kesadaran masyarakat untuk aktif mengembangkan ekonomi syariah.
Formulasi sosialisasi hendaknya diorientasikan pada proses penyelarasan dan internalisasi nilai-nilai syariah ke dalam nilai-nilai kearifan kultur lokal yang di yakini dapat mendorong terjadinya perubahan pola pikir, sikap, ideologi masyarakat secara utuh dalam memahami ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah.



D. Penutup
Eksistensi perbankan syariah sebagai sebuah institusi bisnis tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial masyarakat. Hal yang sering terlupakan dalam pembangunan institusi bisnis adalah kurangnya pemahaman terhadap kearifan kultur lokal tempat institusi bisnis itu berada. Ekonomi syariah merupakan bagian dari entitas bisnis. Pemahaman atas kultur masyarakat yang menyimpan sejuta kearifan lokal merupakan salah satu faktor signifikan sebagai prasyarat untuk mendesain, menyelaraskan, dan mengembangkan bisnis yang di jalankan.
Nilai-nilai solidaritas sosial, bagi hasil,kerja sama kemitraan,etos kerja merupakan contoh kearifan kultur lokal yang telah lama mengakar dalam tradisi masyarakat. Dengan demikian, ikhtiar akselerasi pengembangan perbankan sejatinya tidak hanya difokuskan pada pengeksploitasian simbol simbol religi yang bersifat properti.
Proses internalisasi kearifan kultur lokal dalam sistem peebankan syariah menjadi paradigma baru dalam pengembangan peebankan syariah karena di dalamnya terdapat keluhuran nilai nilai yang memiliki persenyawaan dan keselarasan dengan prinsip syariah.
0 Komentar untuk "Perbankan syariah perspektif sosio-kultur"

Back To Top