Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Non Litigasi



A.    Pendahuluan
Dalam era global seperti sekarang ini dunia seolah-olah tanpa batas (borderless), orang bisa berusaha dan bekerja di manapun tanpa ada halangan, yang penting dapat menghadapi lawannya secara kompetitif. Suatu hal yang sering dihadapi dalam situasi semacam ini adalah timbulnya sengketa. Sengketa merupakan suatu hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa sengketa mulai dikenal sejak adanya manusia, di mana ada kehidupan manusia di situ ada sengketa. Oleh karena itu, sengketa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari sengketa ini dapat berwujud sengketa antara sesama rekan bisnis, antar keluarga, antar teman, antara suami dan istri, dan sebagainya.
Sengketa yang timbul dalam kehidupan manusia ini perlu untuk diselesaikan. Masalahnya, siapa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut? Cara yang paling mudah dan sederhana adalah para pihak yang bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa tersebut. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menyelesaikan sengketa tersebut melalui forum yang pekerjaannya atau tugasnya memang menyelesaikan sengketa. Forum resmi untuk menyelesaikan sengketa yang disediakan oleh negara adalah “Pengadilan”, sedangkan yang disediakan oleh lembaga swasta adalah “Arbitrase”. Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan sering disebut juga dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dalam istilah Indonesia diterjemahkan menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).

B.     Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Non Litigasi
Sebagai institusi penegak hukum, peradilan agama harus kuat status dan kedudukannya sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada para pencari keadilan. Untuk itu, yang lebih diutamakan dari reformasi peradilan agama, yang berkaitan dengan status dan kedudukannya sebagai salah satu pelaksana dari struktur kekuasaan kehakiman.
Perluasan wewenang pengadilan agama setelah diundangkannya Undang-undang No 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, antara lain antara lain di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (pasal49). Penyebutan ekonomi syariah menjadi penegas bahwa kewenangan pengadilan agama tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Misalnya, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi dan surat berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.
Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia yang begitu pesat, tentunya perselisihan antara lembaga keuangan syariah dan nasabah akan semakin besar. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat diselesaikan baik melalui jalur litigasi (in court settlement) ataupun penyelesaian secara non litigasi (out of court settlement). Mekanisme penyelesaian sengketa bisnis syariah secara non litigasi ditempuh melalui perdamaian (sulhu) atau dikenal dengan sistem ADR (Alternatif Dispute Resolution).

C.    Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
Mengenai penyelesaian sengketa antara bank syariah, ketentuan Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”) mengatur bahwa:
1.      Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
2.      Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
3.      Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Kemudian, Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 menguraikan sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
1.      musyawarah;
2.      mediasi perbankan;
3.      melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
4.      melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”
Jadi, berdasarkan Pasal 55 UU 21/2008, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan di Pengadilan Agama. Pada prinsipnya, penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah (lihat Pasal 55 ayat [3] UU 21/2008).
Namun, di sisi lain, Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 memungkinkan dilakukannya penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah. Karena penyelesaian sengketa melalui peradilan umum dilakukan berdasarkan Hukum Acara Perdata, bukan prinsip-prinsip syariah. Begitu juga penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan yang berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008.
Jadi, hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah akan tergantung pada lembaga yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Hal ini menimbulkan perdebatan, karena di satu sisi disebutkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, namun di sisi lainya dimungkinkan dilaksanakan penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah melalui peradilan umum, lembaga arbitrase, dan mediasi perbankan.

D.    Perdamaian (Sulhu) atau sistem ADR(Alternatif Dispute Resolution).
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan.
Landasan hukum penyelesaian sengketa secara damai tertuang dalam Pasal 1338 KUHPer bahwa perjanjian yang dibuat sesuai undang-undang akan berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, artinya bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian, menentukan klausul perjanjian hingga penyelesaian sengketa jika dikemudian hari dapat terjadi sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selain itu pula dalam Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa sangat memungkinkan proses penyelesaian sengketa secara damai sepanjang para pihak menghendaki. Dengan landasan hukum tersebut, beberapa pihak memilih sistem damai dalam penyelesaian sengketa syariah. Penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan dinilai kurang efektif oleh para pelaku bisnis, karena:
1.      Penyelesaian perkara yang yang lambat dan membuang waktu
2.      Biaya perkara mahal;
3.      Peradilan tidak responsif dengan kepentingan umum;
4.      Putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa.
5.      Kemampuan Hakim bersifat generalis
6.      Putusan kalah menang
Mardani mengemukakan keuntungan penyelesaian sengketa secara damai antara lain: kesukarelaan dalam berproses, prosedur cepat, hemat waktu, hemat biaya, win-win solution serta terpelihara hubungan baik antarpihak yang bersengketa. Basuki Rekso Wibowo mengemukakan bahwa paradigma beracara dipengadilan telah mengalami pergeseran yang begitu memprihatikan. Idealisme berperkara untuk menegakkan keadilan yang substansial, telah bergeser menjadi pergulatan kekuatan dan kesempatan untuk saling mengalahkan.
Dengan demikian, penyelesaian sengketa secara non litigasi jauh lebih menguntungkan dari penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Penyelesaian sengketa secara non litigasi juga akan memberikan manfaat bagi badan peradilan karena mecegah penumpukan perkara. Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip-prinsip syari’at, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan.

E.     Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Menurut Steven H. Gifts bahwa arbitrase (Tahkim) adalah suatu pengajuan sengketa, berdasarkan perjanjian antara para pihak, kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk mendapatkan suatu keputusan. Saat ini telah ada lembaga khusus Badan Arbitrase Syariah Nasional/Basyarnas yang diharapkan mampu menyelesaikan segala bentuk sengketa muamalat dan perdata yang muncul dikalangan umat muslim. Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas) sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Lembaga keuangan Syariah mempunyai tujuan :
1.      Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain.
2.      Menerima permintaan yang diajukan, oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.
Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah, selain ADR dan arbitrase (lembaga Basyarnas) dapat pula melalui jalur peradilan agama (Litigasi), yaitu melalui   Lembaga Peradilan Agama sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

F.     Lembaga Mediasi
Untuk penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga mediasi Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tanggal 11 September 2003. Adapun latar belakang diterbitkannya peraturan Mahkamah Agung ini dijelaskan dalam pertimbangan (konsiderans) pada butir b bahwa mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan itu atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi.
Jauh sebelum diterbitkannya peraturan Mahkamah Agung ini, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Namun, surat Edaran tersebut oleh MA dianggap belum lengkap sehingga perlu disempurnakan.
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way).
Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
1. bertujuan mencapai kompromi yang maksimal,
2. pada kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang
menang mutlak.
Manfaat yang paling mennjol, antara lain:
1.      Penyelesaian cepat terwujud (quick).
Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
2.      Biaya Murah (inexpensive).
Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3.      Bersifat Rahasia (confidential).
Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
4.      Bersifat Fair dengan Metode Kompromi.
Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a) informal, (b) fleksibel, (c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
5.      Hubungan kedua belah pihak kooperatif.
Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
6.      Hasil yang dicapai WIN-WIN.
Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7.      Tidak Emosional.
Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.

G.     Sistem Konsolidasi
       Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1.      pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
2.      setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
      Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.

H.    Penutup
      Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan
      Mardani mengemukakan keuntungan penyelesaian sengketa secara damai antara lain: kesukarelaan dalam berproses, prosedur cepat, hemat waktu, hemat biaya, win-win solution serta terpelihara hubungan baik antarpihak yang bersengketa. Basuki Rekso Wibowo mengemukakan bahwa paradigma beracara dipengadilan telah mengalami pergeseran yang begitu memprihatikan. Idealisme berperkara untuk menegakkan keadilan yang substansial, telah bergeser menjadi pergulatan kekuatan dan kesempatan untuk saling mengalahkan.
       Dengan demikian, penyelesaian sengketa secara non litigasi jauh lebih menguntungkan dari penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Penyelesaian sengketa secara non litigasi juga akan memberikan manfaat bagi badan peradilan karena mecegah penumpukan perkara. Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip-prinsip syari’at, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan.















DAFTAR PUSTAKA

Suyud Margono, S.H., ADR(alternative dispute resolution) & Arbitrase, cet II(Bogor :Ghalia Indonasia, 2004) hlm 36-37
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta :Rajawali Pers,2003) hlm.15
 Mantan Wakil Jaksa Agung Era President Suharto
 M. Husseyn Umar, “ Beberapa Masalah Dalam Penerapan ADR”, Makalah disampaikan pada Lokarnya Nasional Menyonsong Pembangunan Hukum Tahun 2000, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan
BAPENAS tanggal 2-3 desember 1996, (Bandung, 1996), hlm.1
Ketua Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)

0 Komentar untuk "Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Non Litigasi"

Back To Top