A.
Pengertian Rahn
Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn berarti al-stubut dan
al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa
rahn adalah terkurung atau terjerat.
Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn
adalah:
1.
Akad yang
objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
2.
Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil
sebagian benda itu.
3.
Gadai adalah
suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.
4.
Gadai ialah
menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan
adanya benda yang menjadi tanggungan
itu seluruh atau sebagian hutang dapat
diterima.
Ulama fiqih
berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :
- Menurut ulama Syafi’iyah:
Menjadikan suatu benda sebagai
jaminan hutang yang
dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang.
- Menurut ulama Hanabilah :
Harta yang dijadikan jaminan hutang
sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika
yang berutang berhalangan (tidak mampu membayar) hutangnya
kepada pemberi pinjaman.
B.
Sifat Rahn
Secara umum
rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan
penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan
sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas
barang yang digadaikan.
Rahn juga
termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan
dan qirad.
C.
Dasar
Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan
hukum pinjam-meminjam dengan jaminan (brog) adalah firman Allah Swt.
Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya ( Al-Baqarah 283).
Syaikh Muhammad Ali as-sayis
berpendapat, bahwa ayat Al-Qur’an tersebut adalah petunjuk untuk menerapkan
prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang
yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah
barang kepada orang yang berpiutang rahn.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari,
Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:
“ Rasullah
Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu
beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk
keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut dapat dipahami
bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai
pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi piutang.
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa
perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor:
25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya
diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh
Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama)
membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam
hadist di atas.
D.
Rukun dan
Syarat Gadai
Gadai atau
pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:
1.
Akad dan
ijab Kabul
2.
Aqid, yaitu
orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun
syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan
dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut
ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli,
yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.
3.
Barang yang
dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah
keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul
bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang
gadai”
4.
Ada hutang,
disyaratkan keadaan hutang telah
tetap.
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan
marhun, antara lain:
a)
Dapat diperjual
belikan
b)
Bermanfaat
c)
Jelas
d) Milik rahin
e)
Bisa diserahkan
f)
Tidak
bersatu dengan harta lain
g) Dipegang
oleh rahin
h) Harta
yang tetap atau dapat dipindahkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah
apabila memenuhi empat syarat, yaitu:
1) Orangnya
sudah dewasa.
2)
Berpikiran sehat.
3) Barang yang akan digadaikan sudah ada pada
saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu
dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
4) Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan
itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula
surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah).
E. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang
digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh
mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin
mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik
manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersbada:
“Setiap
orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat
Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan,
jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang
ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat
dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang
dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanyaJika dia dibiayai
oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai
tersebut.
Rasul bersabda:
“ Binatang
tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang
boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi
orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut
ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang
memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai
berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus
membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang di
bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang
ada pada dirinya.
F. Pandangan Ulama Mengenai Rukun gadai
Rukun gadai menurut Abd al-Rahman
al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang diakadkan), Shighat (akad
gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil mengnai rukun gadai
beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga
bagian:
Pertama: Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat
orang yang menggadaikan adalah mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi
hutang. Washi (orang yang dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan
untuk kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya manakala tindakan
tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan
oleh imam Malik.
Menurut Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena
ada kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya
memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan orang yang diberi izin boleh
menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang menerima gadai karena harta yang
dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga
mengemukakan pendapat yang sama.
Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang bangkruttidak
boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak
ada pendapat yang tegas dari Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya
karena hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya
itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang terkenal ia tidak boleh
menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.
Kedua: Akad gadai
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu
bisa sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena
hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang digadaikan tidak
terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi
penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada
jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang
itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak
boleh dijual, itu boleh, seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak
dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka menurut Malik boleh dijual untuk
melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian buah yang belum
layak dipanen, dari Syafi’i ada dua pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa
hutang sudah jatuh tempo, maka buah tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik.
Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling benar adalah yang membolehkan. Bagi
Malik menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan dirham
yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas
barang yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan
barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha sepakat bahwa di antara
syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa barang gadaian harus berada di
tangan penerima gadaian. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila penerima
gadai menerima barang tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang
dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang
ada di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang
dirampas itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang
dirampas barangnya itu menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di
tangan perampas, sebelum ia menerima barang itu.
Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafi’i, tidak
boleh, bahkan barang itu tetap berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika
orang yang dirampas menerima kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha
pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian barang dari milik bersama.
Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut Malik dan Syafi’i boleh.
Ketiga: Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu
dapat dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan
kecuali jual beli mata uang itu harus tunai. Karena itu, sharf tidak bisa
menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski pun menurut Malik,
lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai
hanya berlaku pada barang pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan
dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang barang dagangan, dan menurut
mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada
salam hutang, ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada
harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya,
seperti al-Ma’mumah dan al-Jaifah.
Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang
diboleh tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di
bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan pada sewa menyewa. Dibolehkan pula
pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya. Demikian pula gadai bisa
diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud, qishash atau proses
kemerdekaan budak.
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah,
barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena
barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena
sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai
dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal
ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang
akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini
mirip dengan madzab Maliki.
DAFTAR
PUSTAKA
Hendi Suhendi Fiqih
Muamalah, Cet.I, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.2005
Rahmat Syafei, Fiqih
Muamalah, Pustaka Setia. Bandung. 2006
Adrian Sutedi, Hukum Gadai
Syariah.Cet.I, Alfabeta. Bandung. 2011
Tag :
Paper,
publikasi ilmiah
1 Komentar untuk "Rahn (Gadai Syari'ah)"
Pinjaman dana jaminan bpkb mobil dengan proses cepat, pencairan dana hanya beberapa jam saja dan pembiayaan kredit mobil bekas untuk seluruh wilayah di indonesia.
Info selengkapnya, silahkan hubungi marketing kami berikut ini. Cukup melalui sms atau whatsapp, kemudian marketing kami akan segera menghubungi Anda.
Marketing : Abi Winata
Phone/Sms/Whatsapp : 081294294758
https://jaminanbpkbmandiri.blogspot.com/